Hubungan Politik Dan Pengusaha Dalam Realitas Pemilu

0
Riko Riyanda, S.IP, M.Si

Terjunnya pengusaha dalam dunia politik bukan merupakan sesuatu yang baru lagi, persentuhan pengusaha dengan politik sudah terjadi sejak zaman orde lama hingga berlanjut sampai sekarang. Beberapa kebijakan yang diterapkan oleh pengusaha untuk membuat pengusaha di Indonesia menjadi lebih mandiri, tangguh serta mampu memajukan perekonomian Indonesia. Namun dalam perjalanannya trend pengusaha masuk dalam dunia politik berubah bentuk menjadi menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Tidak hanya itu “perselingkuhan” antara pengusaha dengan politik praktis semakin memperburuk kondisi ekonomi dan politik Indonesia.

 Diterapkannya sistem pemilu dengan suara terbanyak yang berlaku sejak reformasi sangat menguntungkan bagi kalangan pengusaha, dengan munculnya banyak partai yang berkontestasi dalam pemilu tentu sangat membutuhkan dana yang besar. Peluang pengusaha untuk masuk dalam dunia politik semakin lebar, besarnya ruang bagi kelompok pengusaha terjun dalam dunia politik semakin memperbesar peluang bagi para pengusaha menduduki posisi strategis dalam pemerintahan baik lembaga legislatif maupun eksekutif.

 Hubungan antara pengusaha dengan dunia politik tidak hanya terjadi di pusat saja, tetapi juga telah merambah ke berbagai daerah di Indonesia. Ironinya trend negatif itu justru terjadi di saat pemilihan umum langsung dan pesta rakyat di daerah (pilkada), mahalnya “cost politik” semakin menguatkan peranan pengusaha di tubuh partai politik. Keberadaan pengusaha terjun dalam dunia politik tentunya memberikan konsekuensi terhadap ekonomi dan politik pada saat sekarang ini.

Dalam bidang ekonomi contohnya: kecenderungan pengusaha untuk mendapatkan proyek-proyek dari pemerintah tetap saja terjadi, pembangunan infrastruktur maupun pengadaan barang-barang kebutuhan pemerintahan daerah adalah contoh nyata adanya, dan biasanya tender tersebut dijalankan oleh penguasa yang mempunyai akses langsung ke pengusaha. Dalam bidang politik adanya usaha untuk memperkaya diri sendiri melalui politik anggaran APBD serta adanya “perselingkuhan” antara anggota dewan dengan pemerintah daerah dalam membuat kebijakan yang menguntungkan diri mereka. Politisi disinyalir mengunakan pengaruh politiknya, serta memanfaatkan jabatan yang didudukinya untuk memenangkan proyek tender, dengan demikian pengusaha masuk politik memang ada kepentingan untuk “cuan” bisnis di dalamnya.

Sistem pemilihan langsung berdasarkan suara terbanyak (Proporsional terbuka) mengakibatkan biaya politik para politisi semnakin besar. Misalnya dengan pemilihan caleg dengan suara terbanyak di satu sisi memang kelihatan demokratis, tapi disisi lain sesama anggota caleg dari partai yang sama saling berkompetisi untuk saling mengalahkan demi mendapatkan kursi menjadi anggota legislatif baik di DPR RI, maupun DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Besarnya biaya dan modal politik itu berpengaruh pada sikap politik penguasa. Mereka cenderung berpikir bagaimana cara mengembalikan modal politik yang sebelumnya telah terpakai dalam pemilu. Atas alasan itu maka tidak ada cara lain kecuali mencari celah untuk mendapatkan proyek-proyek pemda. Selain itu, setelah mereka terpilih hubungan mereka dengan rakyat (konstituen) pun seakan terputus. Ini terjadi karena mereka menganggap bahwa suara rakyat telah “dibeli” sehingga tidak ada lagi kepentingan untuk mewujudkan aspirasi rakyat yang dulunya mereka janjikan. Ketika semua telah dibeli maka tidak ada hubungan idiologis antara rakyat dan pengusaha yang terpilih.

Padahal sejatinya setiap orang terjun pada dunia politik tujuan utamanya tidak untuk mengejar materi. Kebanyakan orang menganggap politik hanya permainan semata, hanya sola menang atau kalah demi mendapatkan kekuasaan, membangun pengaruh dan kekuatan untuk mengalahkan pesaingnya dengan segala cara dan tidak mengindahkan pelanggaran hukum yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para politisi.

Nilai politik terasa direndahkan oleh politisi yang menghalalkan segala cara dalam memenangkan kontestasi pemilu ini. Polarisasi yang dibangun cenderung di pihak lawan adalah musuh yang harus dikalahkan dengan cara-cara yang kotor, seperti politik identitas, hoaks, ujaran kebencian, caci maki, hinaan dan lain sebagainya. Para pesaing tidak lagi berbicara adu ide/gagasan, adu pemikiran, adu program bagaimana cara mengatasi permasalahan bangsa dan mencapai tujuan bernegara.

Begitu mulianya ilmu dan misi politik sehingga Aristoteles menyebutnya sebagai seni tertinggi untuk mewujudkan kebaikan bersama (Common and High Good) bagi sebuah negara. Jadi politik pada dasarnya membangun nilai-nilai kebaikan untuk kemaslahatan semua orang. Maka poilitik itu sendiri sebelumnya adalah bagian dari ibadah untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran sesuai dengan perintah agama.

Jika melihat kecenderungannya sekarang, kedepan panggung kekuassaan akan dikendalikan oleh pengusaha di Indonesia. Sebab, dengan sistem pemilu sekarang untuk menjadi wakil rakyat, bupati, walikota, gubernur apalagi presiden dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Sudah jelas yang akan banyak menduduki kursi pemerintahan strategis nantinya bukan kebanyakan dari kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah seperti: para cendikiawan, akademisi, birokrat, mantan pensiunan, mantan wali nagari, dan bukan juga dari pensiunan PNS. Kalaupun mereka terpilih itu lebih yang menonjol ketokohannya bukan dari materinya. Di saat yang bersamaan pemilih kita belum rasional sepenuhnya dalam pemilu. Pemilih lebih prgamatis soal pemilu, bahkan tidak hanya pragmatis juga apatis soal pemilu. Mau golput hanya soal tidak diberi uang dalam lain sebagainya. Semua nya diukur dengan uang bukan isi kepala calon calon yang akan duduk di kursi legislatif.

Dalam catatan saya pengusaha di negeri ini berbeda dengan kelas pengusaha yang ada di negeri barat dan eropa. Kelas pengusaha di sini adalah bentukan rezim lama dan bukan moral secara alami karena tempaan zaman peralihan dari masyarakat feodal ke masyarakat demokrasi. Permasalahannya sekarang mana yang lebih dulu jadi politisi atau jadi pengusaha? Jika dari pengusaha kemudian jadi politisi itu umum terjadi di negara-negara maju, tapi dari politisi kemudian jadi pengusaha itu patut dipertanyakan dan diselediki dari mana modal berasal.

Umumnya politisi karbitan itu paling pandai melobby dan berdiplomasi pada awalnya, namun ketika bersentuhan dengan kue pembangunan, rasa lapar orang-orang ini agak sedikit over, sampai menjerumuskan diri sendiri ke ranah hukum karena kasus korupsi. Oleh karena itu, munculnya gaya kepemimpinan hedonisme sebenarrnya adalah cermin dari politisi karbitan yang sudah lama berjuang di lumpur penjilatan, jadi maklum saja ketika mereka mendapat angin segar dari amplop-amplop kekuasaan lalu langsung lupa daratan.

Bila dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat sebelum menjadi politisi merasakan sudah mapan dari segi ekonomi atau sudah menjadi pengusaha sukses. Artinya mereka masuk dunia politik sudah establish secara materi. Dan itu dilakukan dipercontohkan oleh kandidat presiden seperti Mitt Romey dari Partai Republik dan Barack Obama dari Partai Demokrat, 2 kandidat inipun menggalang dana dari pengusaha-pengusaha yang mendukungnya menjadi presiden Amarerika Serikat.

Di negara Amerika, komitmen masing-masing lini terhadap kontribusi politik sangat tinggi. Karena menjaga reputasi masing-masing. Reputasi ini yang menjadi andalan penguatan eksistensi para penguasa yang akan terjun dalam dunia politik. Elite politiknya berusaha keras menjaga reputasinya dari aspek moral maupun kapablilitas, sebab reputasi itulah yang akan menjamin keberlangsungan karier politinya.

Dalam sistem pemilu langsung membuat rakyat mempunyai kesempatan memberi hukuman kepada elite politik dengan cara tidak memilihnya pada pemilihan umum yang akan datang dan sebaliknya terbuka luas memberikan ganjaran dengan cara memberikan dukungan pada saat pemilihan umum. Di negara demokrasi seperti Amerika rakyat bisa secara terbuka menilai kinerja pejabat publik bahkan mengganti pejabat tersebut jika tidak sesuai lagi dengan keinginan masyarakat.

Hal ini terbukti di negara bagian seperti California, dimana rakyat California memilih mengganti Gubernur lama Creg Davis dan menggantinya dengan Gubernur Baru Arnold Swarzeneger yang nota bene adalah seorang aktor minim pengalaman sebagai politisi. Namun pilihan rakyat terhadap Arnol tersebut disebabkan karena masyarakat California sudah tidak percaya lagi pada politisi. Dan Arnold yang selama ini tampil sebagi publik figur dinilai mampu membawa perubahan karena sang terminator tidak pernah melakukan dosa politik.

Jadi dapat ditarik benang merahnya, ketika pengusaha terjun dalam dunia politik akan bersinggungan dengan kepentingan bisnis. Dalam politik hari ini penyokong terjadinya korupsi di daerah berasal dari latar belakang pengusaha, relasi antar kepentingan bisnis menjadi bangunan utama penyebab banyaknya kepala daerah yang tersandera kasus korupsi dari Aceh sampai Merauke.

Hasil riset pemetaan kepentingaan bisnis politik di daerah yang dilakukan oleh ICW di empat daerah menunjukkan pola yang sama. Relasi penguasa dengan kelompok bisnis menjadi fondasi yang kuat terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Donasi dari kelompok bisnis “actor ekonomi” kepada politisi “actor political” atau penguasa tidak pernah gratis. Konsekuensinya pasti ada “tukar guling” berupa proyek atas lisensi tertentu. Sekedar contoh, Wali Kota Semarang membuat peraturan daerah tentang parkir tepi jalan. Berdasarkan temuan ICW ternyata menguntungkan salah satu bandar politik atau pengusaha yang menjadi tim sukses Wali Kota Semarang.

Di Kalimantan Timur kasus seperti ini juga muncul. Kasus Samarinda misalnya, relasi terbangun ketika Wali Kota disokong oleh pengusaha batubara dan sebagai balasannya adalah terbitnya izin konsesi pertambangan di daerah tersebut. Kasus Suka Bumi Jawa Barat, sebagai wilayah potensi sumber daya air, pola relasi yang terjadi anatra pengusaha minuman kemasan dan Kepala Daerah, pemberian sumbangan yang diberikan pengusaha kepada kepala daerah. Terakhir kasus di Muna, terjadi konflik kepentingan antara penguasa dan pengusaha dalam kasus pengadaan barang dan jasa, penguasa menempatkan kerabatnya sebagai pejabat lelang atau perencana kebijakan (Kompas, 30/3).

Dan yang terakhir terjadi perselingkuhan politik antara politikus dan pengusaha tercermin dari kasus suap Bupati Buol oleh PT Hardaya Inti Plantation (HIP), perusahaan milik Hartati Murdaya yang merupakan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat. Padahal “perselingkuhan “ politik akan menyengsarakan rakyat sebab baik pengusaha maupuin politik akan mengutamakan hubungan yang opurtunis.

Semoga dari contoh tersebut dapat menjadikan proyeksi bagi pengusaha yang akan terjun dalan dunia politik, benturan kepentingan tidak dapat dihindarkan. Penulisa disini bukan memojokkan pengusaha terjun pada politik akan tetapi pengusaha seperti mengambil keuntungan ketika terjun ke politik dengan tujuan yang salah. Sekali lagi penulis sampaikan awalnya politik itu mulia, namun yang memperburuk politik itu sendiri adalah aktornya, siapapun bisa terlibat tidak terkcuali pengusaha. Siapapun dapat saja terjun dalan dunia politik asalkan ia dapar menjadikan politik sebagai tujuan membangun bangsa yang maju dan berperadaban bukan sebaliknya.

Penulis: Riko Riyanda, S.IP., M.Si

(Dosen Ilmu Politik Univeristas Muhammadiyah Sumatera Barat)

Bagikan

Tinggalkan Balasan